PERAN PEMERINTAH DALAM PENGAWASAN PENERAPAN SMKP DEMI MENUNJANG PENINGKATAN JAMINAN KEAMANAN, KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
OLEH : SUCI PRIYANTI KARTIKA CHANDA SARI
ABSTRACK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan peran pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan (SMKP) demi menunjang peningkatan jaminan keamanan dan keselamatan kerja. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan memiliki tujuh elemen. Dalam hal evaluasi penerapannya, terdapat proses audit internal dan audit eksternal. Keterlibatan pemerintah dalam evaluasi tersebut terletak pada pelaksanaan audit eksternal dimana Kepala Inspektur Pertambangan adalah pihak yang dapat meminta pelaksanaan audit. Dapat dikatakan bahwa dalam pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan, pemerintah tidak berperan dan terlibat secara mendalam. Peran pemerintah sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 tahun 2018 antara lain sebagai Kepala Inspektur Pertambangan dan Inspektur Pertambangan. Inspektur Pertambangan adalah pihak yang terlibat secara langsung dalam pembinaan dan pengawasan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan dengan bertindak atas nama Menteri atau Gubernur. Seharusnya pemerintah lebih berperan sejak awal penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan dengan terlibat secara menyeluruh dalam proses audit internal, sehingga lebih dapat meningkatkan jaminan keamanan dan keselamatan kerja.
Keywords: SMKP, audit, pemerintah
Introduction
Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hal ini tertulis dalam pasal 1 ayat 3 yang berbunyi, "negara Indonesia adalah negara hukum." Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, hukum merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat. Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum ialah segala kehidupan berbangsa dan bernegara warganya selalu didasarkan kepada hukum-hukum yang dibuat untuk dipatuhi. Maka, diperlukan ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
Salah satu hukum yang mengatur keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia ialah pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula, bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis takterbarukan yang dikuasai negara. Keduanya juga merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang penting. Maka dari itu, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Salah satu tujuan Pasal 33 Ayat (3) dalam hal kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah dengan menciptakan lapangan kerja. Hal ini akan secara sekaligus terlaksana ketika pemerintah melakukan usaha pengelolaan kekayaan alam melalui kegiatan pertambangan. Undang-undang yang mengatur tentang pertambangan, yaitu Undag-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian. Pertambangan mempunyai beberapa karakteristik yaitu tidak dapat diperbaharui, mempunyai risiko relatif lebih tinggi, dan pengusahaanya mempunyai dampak lingkungan baik fisik mapun sosail relatif lebih tinggi dibandingkan pengusahaan komoditi lain pada umumnya.
Usaha pertambangan memiliki beberapa tahap-tahap kegiatan usaha pertambangan yaitu:
1. Penyelidikan umum
2. Eksplorasi
3. Studi kelayakan
4. Persiapan penambangan
5. Penambangan
6. Pengolahan bahan galian
7. Pengakutan
8. Reklamasi
Ketika usaha pertambangan mulai dilaksanakan, maka secara otomatis akan menciptakan lapangan kerja dan meraup tenaga-tenaga kerja yang tersedia. Tenaga kerja sebagaimana dalam disebutkan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja dalam UU tersebut juga harus dijamin keamanan, Kesehatan dan keselamatannya.
Keamanan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan salah satu aspek perlindungan tenaga kerja yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Keamanan kerja adalah suatu usaha untuk menjaga dan melindungi pekerja dan fasilitas/aset yang dimiliki, baik yang berada di dalam Kantor maupun yang berada di luar lingkungan Kantor. Upaya memberikan jaminan keamanan kerja tidak hanya diperuntukkan bagi tenaga kerja yang bekerja di dalam lingkungan Kantor, tetapi juga bagi tenaga kerja yang bekerja di lapangan.
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja bersasaran segala tempat kerja, baik didarat, didalam tanah, dipermukaan air, didalam air, maupun diudara. Tempat-tempat demikian tersebar segenap kegiatan ekonomi, seperti pertanian, industri, pertambangan, perhubungan, pekerjaan umum, jasa dan lain-lain. Salah satu aspek penting sasaran keselamatan kerja mengingat risiko bahayanya adalah penerapan teknologi, terutama teknologi yang lebih maju dan mutakhir. Keselamatan kerja adalah tugas semua orang yang bekerja. Keselamatan kerja adalah dari, oleh, untuk setiap tenaga kerja, serta orang lainnya dan juga masyarakat pada umumnya. Keamanan kerja adalah unsur-unsur penunjang yang mendukung terciptanya suasana kerja yang aman, baik berupa material maupun nonmaterial.
Ihwal keamanan dan keselamatan kerja dalam usaha pertambangan, sejak tahun 2014 melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah dibentuk salah satu sistem yang disebut Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan (SMKP) yang kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 26 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara. Permen tersebut menyebutkan bahwa Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara, yang selanjutnya disebut SMKP Minerba, adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko keselamatan pertambangan yang terdiri atas keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan dan keselamatan operasi pertambangan. Pelaksanaan Sistem manajemen lingkungan dan keselamatan kerja pertambangan yang baik diharapkan akan terpeliharanya lingkungan hidup dan keselamatan pekerja tanpa kecelakaan.
SMKP merupakan Sistem manajemen yang menjadi bagian dari sistem manajemen perusahaan dalam rangka mengendalikan risiko keselamatan pertambangan yang terdiri dari K3 pertambangan dan keselamatan operasi pertambangan (K3 Pertambangan dan KO Pertambangan). Penerapan SMKP akan memiliki manfaat dalam menghindari terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK), serta meningkatkan nilai tambah daya saing instansi. SMKP ditempat kerja merupakan salah satu bagian dari manajemen umum berupa susunan organisasi, penjadwalan, tanggung jawab, implementasi, proses konvensi dan keahlian yang diperlukan untuk pengembangan, implementasi, realisasi, evaluasi dan pendayagunaan dalam kebijakan K3.
SMKP wajib dilaksanakan oleh semua perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, yang meliputi perusahaan pertambangan dan perusahaan jasa pertambangan, dan menjadi acuan bagi semua perusahaan tambang di indonesia dalam melaksanakan sistem keselamatan pertambangan walaupun mereka sudah menerapkan sistem manajemen keselamatan yang sudah ada baik dari dalam/luar negeri.
Problem Statement
Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan tentu merupakan sebuah sistem yang diciptakan dengan segenap tujuan dan cita-cita bersama. Sebagaimana berbagai sistem yang ada, tidak ada yang bisa menjamin bahwa sistem tersebut akan benar-benar mencapai tujuan terbesarnya. Terlebih menyangkut SMKP yang mana tujuan terbesarnya adalah terkait keselamatan yang memang tidak bisa dijamin secara utuh dan menyeluruh.
Meskipun SMKP telah diterapkan, kecelakaan kerja dan berbagai hal-hal buruk pun negative tidak akan pernah bisa dihindari untuk terjadi. Dalam setiap usaha pertambangan, kecelakaan adalah resiko pertama yang memang harus siap untuk diterima. Tetapi tulisan ini bukan untuk membahas tentang kecelakaan-kecelakaan kerja yang terjadi sejak SMKP diciptakan pada tahun 2014.
Penerapan SMKP dapat dikatakan cukup rumit dan memiliki prosedur yang cukup panjang. Dalam penerapannya, SMKP memiliki tujuh elemen yang salah satunya adalah evaluasi dan tindak lanjut. Menyoal elemen evaluasi, di dalamnya terdapat proses audit internal. Secara substansial, terdapat audit internal dan eksternal dalam penerapan SMKP. Audit internal dilakukan sekurang-kurangnya satu kali dalam kurun waktu satu tahun, sedangkan audit eksternal dilakukan hanya ketika terjadi kecelakaan dan bahaya-bahaya lainnya.
Penulis tertarik untuk menelusuri terkait peran pemerintah dalam mengawasi penerapan SMKP. Sebab menurut penulis, dalam proses audit baik internal maupun eksternal sebagaimana telah disebutkan di atas membutuhkan keterlibatan pemerintah untuk lebih meningkatkan jaminan keamanan dan keselamatan kerja dalam usaha pertambangan.
Method / Approach
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktriner atau disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, penulis menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani untuk melihat dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah menyuburkan praktik-praktik penyimpangan, baik dalam tataran teknis atau dalam pelaksanaannya di lapangan. Penulis juga melakukan pendekatan kasus demi mencoba membangun argumentasi hukum dalam perspektif kasus konkret yang terjadi di lapangan.
Peran Pemerintah Dalam Pengawasan Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan
Pemerintah sebagai organ penyelenggara negara yang kemudian negara dapat mendelegasikan pengelolaan kekayaan alam tersebut kepada daerah-daerah otonom dan masyarakat hukum adat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu dibuatlah undang-undang pemerintah daerah sebagai implementasi otonomi daerah yaitu UU Nomor 23 Tahun 2014 yang disahkan pada tanggal 30 September 2014 dan di undangkan tanggal 2 Oktober 2014 yang telah menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dinamika politik, lingkungan yang berubah, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan pemerintah daerah merupakan aspek yang melatar belakangi lahirnya UU No. 23 Tahun 2014, Apabila dibandingkan dengan UU No.32 Tahun 2004, UU No.23 Tahun 2014 telah mengatur beberapa perubahan yang cukup mendasar yaitu dihapuskannya sebagian besar urusan pemeintahan di bidang energi dan sumber daya mineral termasuk pemberian izin usaha pertambangan yang sekarang diserahkan pemerintah daerah provinsi sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) dan (3) UU No.23 Tahun 2014, yang isinya sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energy dan sumber daya mineral dibagi diantara pemerintah pusat dan daerah provinsi;
2. Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan pusat;
Artinya bahwa pasal 14 UU No.23 Tahun 2014 mengatur tentang penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, dan energi serta sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi. Tidak disebutkan pemerintah kabupaten/kota dalam klausul pasal tersebut, yang mengakibatkan secara tidak langsung, ikut mengahapuskan kewenangan pemerintah kabupaten/kota tersebut dalam penyelenggaraan urusan pemerintah bidang pengelolaan sumber daya alam. Dalam pengelolaan pertambangan peran pemerintah daerah juga sangat penting.
Adanya hubungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dapat dilihat dalam rumusan pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yakni: “Pemerintah Daerah dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Rumusan ini tentunya mengisyaratkan bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam otonomi seluas luasnya, kecuali urusan pemerintah pusat.
Dalam pengembangan dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam tersebut, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, daerah otonom sebagai pelaksana otonomi diberikan kewengan dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Pengelolaan sumberdaya yang ada pada suatu daerah tidak sekedar di hajatkan untuk meningkat penerimaan daerah semata, akan tetapi diharapkan mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat (dalam hal peningkatan taraf ekonomi masyarakat). Setiap kepala daerah diharapkan mampu berkereasi dan aktif dalam mengelola pertambangan rakyat tersebut, hal ini dapat dilakukan diantaranya pengaturan regulasi dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan pertambangan yang diharapkan. Didalam pelaksanaan kebijakan pertambangan tersebut, dibutuhkan peran pengawasan yang dilakukan oleh legislatif daerah sebagai mitra eksekutif daerah dalam menjalankan roda pemerintahan didaerah.
Konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah tangga sendiri). Otonomi adalah memberikan hak kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya. Daerah mempunyai kebebasan inisiatif dalam menyelenggarakan rumah tangga dan pemerintahan di daerah. Selain itu, bisa dimaknai sebagai keebebasan dan kemandirian kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi. Kegiatan pertambangan yang dikelola negara dan pemerintah daerah ditujukan untuk kemajuan pembangunan disetiap bidang, dengan sistem pembagian yang proporsional dan profesional antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Inkonsistensi antara UU Minerba dan UU 23 Tahun 2014 adalah adanya pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang sederajat dalam hierarki. Konflik ketentuan dalam UU 23 Tahun 2014 dengan UU Minerba tersebut merupakan inkonsistensi dari segi substansi peraturan, yakni peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi peraturan lainnya. Menurut ilmu hukum, antara sesama peraturan perundang undangan seperti ini, maka ketentuan yang digunakan adalah asas lex specialis derogate legi generali, mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Ketentuan ini merujuk pada dua peraturan perundang undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama, tetapi ruang lingkup materi muatan antara peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain.
Berbicara tentang peran dan kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah menyangkut usaha pertambangan merupakan sebuah persoalan yang cukup panjang. Pembagian peran dalam urusan energi dan sumber daya mineral dalam UU Pemda sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, mengilhami direvisinya UU Minerba dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020. Terlepas dari kedua UU tersebut, peran dan kewenangan pemerintah baik pusat dan daerah menyoal tentang pertambangan akan saling mengaitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, bahkan hingga UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, penulis tidak akan masuk terlalu jauh ke dalam persoalan tersebut, tetapi berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan itu akan penulis jadikan sebagai bahan bahasan untuk mendalami peran pemerintah dalam hal penerapan SMKP.
Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral Dan Batubara. Hal ini semakin memperkuat payung hukum bagi Pemerintah agar Perusahaan yang bergerak bidang pertambangan dan perusahaan jasa pertambangan dapat menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan berdasarkan. Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara (SMKP Minerba) terdiri atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Pertambangan dan Keselamatan Operasi (KO) Pertambangan, diterapkan oleh Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan perusahaan jasa pertambangan. Penerapan SMKP Minerba terdiri atas elemen sebagai berikut:
1. Kebijakan
a. Dalam elemen kebijakan, Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan Perusahaan Jasa Pertambangan mengikuti prinsip dasar sebagai berikut:
b. Penyusunan kebijakan Dalam penyusunan kebijakan, mempertimbangkan hasil tinjauan awal dan masukan dari para pekerja tambang.
c. Isi kebijakan mencakup visi, misi, dan tujuan; dan berkomitmen dalam melaksanakan K3 dan KO Pertambangan.
d. Penetapan kebijakan Disahkan oleh pimpinan tertinggi dari pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi atau perusahaan jasa pertambangan.
e. Komunikasi kebijakan Hasil dari penetapan kebijakan, dilakukan dokumentasi secara teratur serta dijelaskan dan disebarluaskan kepada pekerja tambang dan orang yang diberi izin masuk oleh kepala teknik tambang (KTT).
f. Tinjauan kebijakan Dalam hal peninjauan oleh manajemen maka dilakukan penyesuaian kondisi secara berkala terhadap kebijakan keselamatan pertambangan yang telah ditetapkan.
g. Perusahaan dituntut untuk memiliki pemahaman dalam melakukan perencanaan, pelakasanaan, dan pengawasan keselamatan di lingkungan kerja, sebagai salah satu upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
2. Perencanaan
Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan perusahaan jasa pertambangan dalam menyusun perencanaan keselamatan pertambangan berpedoman pada:
a. hasil proses penelaahan awal yang mencakup: sistematika bisnis proses dan interaksi proses; penyesuaian terhadap ketentuan peraturan perundangundangan dan standar dan peninjauan terhadap kebijakan Keselamatan Pertambangan.
b. Manajemen risiko Proses manajemen risiko meliputi 5 (lima) kegiatan yang terdiri atas komunikasi dan konsultasi resiko, penetapan konteks resiko, identifikasi bahaya dan penilaian resiko, pengendalian resiko, serta pemantauan dan peninjauan.
c. Identifikasi dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan dan persyaratan lainnya yang terkait.
d. Penetapan tujuan, sasaran, dan program yang meliputi: pembuatan, penetapan, penerapan, dan pemeliharaan, serta pendokumentasian tujuan, sasaran, dan program Keselamatan Pertambangan dan selaras dengan kebijakan serta dapat diukur; dan tujuan, sasaran, dan program Keselamatan Pertambangan ditetapkan dan disahkan oleh Komite Keselamatan Pertambangan.
e. Rencana kerja, anggaran, dan biaya Melakukan penetapan rencana kerja, anggaran, dan biaya aspek Keselamatan Pertambangan yang mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal atas nama Menteri atau Gubernur sesuai kewenangannya.
3. Organisasi dan personel
Dalam elemen organisasi dan personel mengikuti pedoman sebagai berikut:
a. penyusunan dan penetapan struktur organisasi, tugas, tanggung jawab, dan wewenang dengan ketentuan untuk penerapan SMKP Minerba, struktur organisasi Keselamatan Pertambangan diintegrasikan ke dalam struktur organisasi;
b. penunjukan KTT, Kepala Tambang Bawah Tanah, dan/atau Kepala Kapal Keruk/Isap;
c. penunjukan PJO untuk Perusahaan Jasa Pertambangan;
d.pembentukan dan penetapan Bagian K3 Pertambangan dan Bagian KO Pertambangan;
e. penunjukan pengawas operasional dan pengawas teknis;
f. penunjukan Tenaga Teknis Pertambangan yang berkompeten;
g. pembentukan dan penetapan Komite Keselamatan Pertambangan;
h. penunjukan Tim Tanggap Darurat;
i. seleksi dan penempatan personel;
j. penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan serta kompetensi kerja;
k. penyusunan, penetapan, dan penerapan komunikasi Keselamatan Pertambangan;
l. pengelolaan administrasi Keselamatan Pertambangan; dan
m. penyusunan, penerapan, dan pendokumentasian partisipasi, konsultasi, motivasi, dan kesadaran.
4. Implementasi
Dalam melaksanakan implementasi atas pemenuhan kegiatan Pertambangan meliputi:
a. pelaksanaan pengelolaan operasional;
b.pelaksanaan pengelolaan lingkungan kerja;
c.pelaksanaan pengelolaan kesehatan kerja;
d.pelaksanaan pengelolaan KO pertambangan;
e.pengelolaan bahan peledak dan peledakan;
f.penetapan sistem perancangan dan rekayasa;
g.penetapan sistem pembelian;
h.pemantauan dan pengelolaan perusahaan jasa pertambangan;
i.pengelolaan keadaan darurat;
j.penyediaan dan penyiapan pertolongan pertama pada kecelakaan; dan
k.pelaksanaan keselamatan di luar pekerjaan.
5. Pemantauan, Evaluasi Dan Tindak lanjut
Untuk mengukur keberhasilan SMKP Minerba maka perlu melakukan pemantauan, evaluasi dan melaksanakan tindak lanjut atas hasil evaluasi terhadap rencana dan penerapan SMKP Minerba tersebut, serta mendokumentasikannya. Dalam hal ini berpedoman pada:
a.pemantauan dan pengukuran kinerja;
b.inspeksi pelaksanaan keselamatan pertambangan;
c.evaluasi kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan dan persyaratan lainnya yang terkait;
d.hasil laporan dari penyelidikan kecelakaan, kejadian berbahaya, kejadian akibat penyakit tenaga kerja, dan data rekaman penyakit akibat kerja;
e.evaluasi pengelolaan administrasi keselamatan pertambangan;
f.audit internal penerapan SMKP Minerba; dan
g.rencana perbaikan dan tindak lanjut.
6. Dokumentasi
Dalam elemen dokumentasi, Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan Perusahaan Jasa Pertambangan melaksanakan hal sebagai berikut:
a. penyusunan manual SMKP Minerba;
b. pengendalian dokumen;
c. pengendalian rekaman; dan
d. penetapan jenis dokumen dan rekaman.
7. Tinjauan Manajemen Dan Peningkatan kinerja
Untuk menilai peningkatan dan kebutuhan akan perubahan terhadap SMKP Minerba dilakukan:
a. tinjauan hasil dari tindak lanjut rencana perbaikan dapat digunakan dasar bagi manajemen, dalam penentuan kebijakan atas proses peningkatan kinerja keselamatan pertambangan;
b. tinjauan manajemen dipimpin oleh manajemen tertinggi pemegang izin; dan
c.dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) tahun sekali dan hasilnya di dokumentasikan.
Pembobotan untuk setiap elemen dalam SMKP Minerba dilakukan berdasarkan jumlah kegiatan pada setiap elemen. Penilaian untuk setiap sub elemen memiliki kriteria penilaian yang berbeda. Pencapaian nilai penerapan SMKP pada perusahaan pertambangan mengalami kenaikan dari penilaian penerapan SMKP pada tahun sebelumnya.
Pentingnya Keterlibatan Pemerintah dalam Pengawasan Penerapan SMKP
Membahas tentang peran pemerintah dalam penerapan SMKP, dalam Permen ESDM No. 26 Tahun 2018 telah disebutkan hal-hal yang di dalamnya melibatkan pemerintah baik pusat maupun daerah. Sebagaimana namanya pemerintah, tentu memiliki peran penting dalam perumusan dan pembentukan kebijakan pun peraturan perundang-undangan. Dalam Permen ESDM tentang SMKP, peran dan kewenangan pemerintah yang disebutkan pertama kali adalah ihwal pembuatan perjanjian penanaman modal dan pelaksanaan usaha pertambangan.
Permen ESDM tentang SMKP kemudian memberi jabatan kepada pemerintah dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 15 dan 16.
Pasal 1 angka 15:
Kepala Inspektur Tambang, yang selanjutnya disingkat KAIT, adalah pejabat yang secara exofficio menduduki jabatan: a. direktur yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang keteknikan pertambangan mineral dan batubara pada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara; atau b. kepala dinas teknis provinsi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pertambangan mineral dan batubara pada pemerintah provinsi.
Kandungan pasal tersebut memberi amanat akan keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan usaha pertambangan. Exofficio sebagaimana tertulis dalam pasal tersebut berarti bahwa Jabatan sebagai KAIT diamanatkan kepada pejabat dalam birokrasi pemerintahan pada Kementerian atau Instansi Provinsi yang berkaitan secara langsung dengan pertambangan.
Selain KAIT, pemerintah juga diberikan keterlibatan sebagai Inspektur Tambang, sebagaimana dalam Pasal 1 angka 16 dikatakan bahwa “Inspektur Tambang adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan inspeksi tambang ditingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.” Adapun inspeksi tambang adalah adalah pemeriksaan yang melibatkan tes, dan pengukuran yang dilakukan berdasarkan karakteristik tertentu yang sehubungan dengan objek inspeksi. Inspeksi dilakukan untuk memeriksa objek untuk memastikan bahwa objek memenuhi standar tertentu.
Kedua jabatan yang diberikan kepada pemerintah oleh Permen ESDM tentang SMKP tersebut adalah menyangkut keterlibatan pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SMKP. KAIT bertugas dalam menjamin terlaksananya serta ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang keselamatan pertambangan. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 17, Pasal 14, dan Pasal 15 Permen ESDM tentang SMKP.
Keterlibatan secara langsung pihak pemerintah dalam pelaksanaan SMKP satu-satunya adalah oleh Inspektur Tambang. Inspektur tambang bertindak atas nama Menteri dan Gubernur dalam upaya pembinaan dan pengawasan penerapan SMKP. Hal tersebut ditegaskan dalam Bab V Pembinaan dan Pengawasan Permen ESDM tentang SMKP.
Pasal 16:
1. Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan penerapan SMKP Minerba sesuai dengan kewenangannya.
2. Pembinaan dan pengawasan penerapan SMKP Minerba oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Inspektur Tambang.
Pasal 17:
Gubernur wajib menyampaikan laporan pembinaan dan pengawasan penerapan SMKP Minerba sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
Jelas sekali dalam Pasal 16 dinyatakan bahwa Direktur Jenderal atas nama Menteri atau Gubernur yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penerapan SMKP. Namun dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan dilimpahkan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diberi jabatan sebagai Inspektur Tambang.
Berdasar pada regulasi yang ada, peran pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan telah dirumuskan secara baik dan jelas. Meski demikian, ada beberapa hal yang menurut penulis menjadi kekurangan dalam penerapan SMKP ini, yang kemudian membutuhkan keterlibatan lebih dari pemerintah. Hal tersebut menyangkut pelaksanaan audit internal dan audit eksternal.
Audit SMKP sebagaimana disebutkan dalam Permen ESDM tentang SMKP adalah pemeriksaan secara sistematis dan independen terhadap pemenuhankriteria yang telah ditetapkan untuk mengukur suatu hasil kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan dalam penerapan SMKP Minerba oleh Perusahaan. Audit ini merupakan bagian dari salah satu elemen penerapan SMKP, yaitu evaluasi dan tindak lanjut. Oleh karena itu, pelaksanaan audit ini merupakan Langkah untuk menjamin SMKP diterapkan secara jelas, tepat dan meneyeluruh guna mencapai tujuan dilaksanakannya SMKP.
Audit SMKP minerba kemudian terbagi menjadi dua, audit internal dan audit ekternal. Audit internal berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) Permen ESDM tentang SMKP, wajib dilakukan oleh perusahaan sekurang-kurangnya 1 kali dalam satu tahun. Penggunaan kata sekurang-kurangnya tersebut menurut penulis memberi kelonggaran bagi perusahaan untuk “dapat mengabaikan” SMKP dari segala hal-hal yang kurang dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan meskipun dalam kurun waktu satu tahun tersebut bisa saja terjadi kerusakan fasilitas operasional dan lain sebagainya. Kondisi tidak aman yang terjadi dalam suatu aktifitas tambang dapat menyebabkan cedera, bahkan kematian, kerusakan peralatan dan dapat menghambat produksi. Manajemen keselamatan pertambangan merupakan suatu alat yang wajib diterapkan untuk menghasilkan lingkungan kerja yang aman dan terbebas dari ancaman bahaya ditempat kerja.
Lebih lanjut, pelaksanaan audit eksternal juga menjadi prosedur paling sia-sia menurut penulis, sebab pelaksanaannya baru dilakukan jika terjadi kecelakaan, kejadian berbahaya, penyakit akibat kerja, dan bencana. Sehingga audit eksternal seolah tidak ada gunanya dalam rangka evaluasi SMKP. Pelaksanaan audit baik internal maupun eksternal sepatutnya dilaksanakan dalam rangka menjamin SMKP diterapkan secara menyeluruh dan sesuai guna mencapai tujuan sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Audit eksternal yang dijadikan sebagai opsi pasca terjadinya kecelakaan tidak memberi upaya pencegahan sama sekali. Maka tidak berlebihan jika menyimpulkan bahwa audit ini adalah mekanisme yang berfokus pada hasil buruk yang disebabkan oleh perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan. Padahal dari kedua mekanisme audit yang tersedia, audit eksternal adalah yang cukup meyakinkan karena pelaksanaannya menggunakan lembaga audit independen sehingga bisa sedikit terhindar dari bentuk intervensi-intervensi yang bertujuan untuk melindungi keberlangsungan usaha pertambangan. Sedangkan audit internal dilaksanakan secara mandiri oleh perusahaan. Proses pelaksanaan audit internal cukup rawan untuk dimanipulasi hasilnya, sebab tidak mungkin ada perusahaan yang siap menyampaikan rapor buruk atas penilaian terhadap SMKP yang mereka terapkan.
Audit internal dan audit ekternal menurut pemahaman penulis memiliki ketidakseimbangan maksud dan tujuannya. Ketidakseimbangan tersebut tergambar pada lembaga pelaksana audit dan juga waktu pelaksanaannya. Audit internal tidak mampu berperan sebagai upaya preventif sebab hanya dilakukan sendiri oleh perusahaan. Sebaliknya, audit eksternal yang dilakukan oleh lembaga independen yang terakreditasi malah dijadikan opsi setelah adanya indikasi SMKP tidak diterapkan secara maksimal. Seharusnya menurut penulis, audit internal dan audit ekternal keduanya dilaksanakan oleh lembaga independen yang terakreditasi agar terlihat jelas upaya dalam menjamin penerapan SMKP.
Pemerintah jangan sampai terkesan menyediakan tindakan setelah terjadinya bencana atau ketika sudah adanya korban, perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan tenaga kerja tidak semunafik itu. Eksistensi audit eksternal yang mensyaratkan terjadinya kecelakaan sangat menggambarkan niat pemerintah yang setengah hati dalam mengupayakan jaminan keamanan dan keselamatan kerja.
Pemerintah juga harus menambah lebih jauh peran dan keterlibatannya dalam penerapan SMKP jika benar-benar ingin mencapai tujuan yang dibahasakan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan. Kemudian juga alangkah baiknya memaksimalkan upaya preventif dalam menjamin telaksananya SMKP secara tepat dan menyeluruh.
Conclusion
Berdasarkan pada uraian pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan, pemerintah tidak berperan dan terlibat secara mendalam. Peran pemerintah sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 antara lain sebagai Kepala Inspektur Pertambangan dan Inspektur Pertambangan. Inspektur Pertambangan adalah pihak yang terlibat secara langsung dalam pembinaan dan pengawasan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan dengan bertindak atas nama Menteri atau Gubernur. Seharusnya pemerintah lebih berperan sejak awal penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan dengan terlibat secara menyeluruh dalam proses audit internal, sehingga lebih dapat meningkatkan jaminan keamanan dan keselamatan kerja. Sebab dengan dilaksanakan hasil auditor SMKP dalam setahun kepada pemerintah yang hanya melalui auditor internal yang kemudian diserahkan kepada auditor eksternal maka memungkinkan miniminya tindakan setelah terjadinya kecelakaan kerja. Hal ini membuat pemerintah terkesan tidak melaksanakan amanat dari undang-undang dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara. Eksistensi audit eksternal yang mensyaratkan terjadinya kecelakaan sangat menggambarkan niat pemerintah yang setengah hati dalam mengupayakan jaminan keamanan dan keselamatan kerja. Sehingganya peran pemerintah sangat dituntut dalam hal ini sebagai upaya peningkatan jaminanan keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja.
References
Salim HS. (2012). Hukum Pertbangan Mineral dan Batu Bara. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm. 11.
Naim, M. R. (2019). Analisis Pengaruh Keamanan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja terhadap Kinerja Pegawai Kantor Penanggulangan Bencana Kabupaten Majene. MANAJEMEN IKM: Jurnal Manajemen Pengembangan Industri Kecil Menengah, 14(1), 62-68.
Patrick Wiliam Rondonuwu, Zetly E. Tamot, Wenny Tilaar, 2021, “Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan (Smkp) Dan Sistem Pengelolaan Perlindungan Lingkungan Hidup Pertambangan (Spplhp) Di Pt. Sumber Energi Jaya (Sej)”, Jurnal Agri Sosio-Ekonomi Unsrat, Volume 17 Nomor 2, hlm. 704.
Irwansyah, (2020), Penelitian Hukum, Mirra Buana Media, Yogyakarta, hal. 133-134
Ibid, hal. 138
Lestari Sulistyani Eka. “Kewenangan pemerintah kabupaten kota dalam penerbitan ijin usaha pertambangan menurut UU Nomor 32 Tahun 014 tentang Pemerintah Daerah” Skripsi (Surabaya DIH Program Pasca Sarjana UNTAG Surabaya), h. 12.
M. Saleh dkk. (2015). Aspek Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pertambangan Rakyat Berdasarkan UU No 4 Tahun 2009 (Studi Di Kab.Sumbawa Barat), Jurnal Jatiswara, v.30, Juli. hlm. 177.
E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru, 1990), h. 198.
M. Saleh, Kafrawi, Abdul Khair & Sarkawi, 2020, “Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertambangan Rakyat”, Jurnal Jatiswara, Volume 35 Nomor 3, hlm. 354.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media Group, 2016) h. 139
Satriawan, Desman Diri. (2021). Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Esensi Hukum, 3(2), 123–133
Kamal, Nurul, Lubis, Mirna Rahmah, & Jehan, Muhammad. (2019). Peningkatan Kinerja K3 Dan Ko Di Perusahaan Pertambangan Melalui Penerapan Smkp. Jurnal Teknik Mesin, 7(1), 5–9
Prasetyo, Cipto D. W. I. (2018). Analisis Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral Dan Batubara Di Plant Maintenance Departement Pt. Adaro Indonesia. Universitas Pembangunan Nasional" Veteran" Yogyakarta.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Hertanti Kusuma Wardani, Edy Nursanto, Nur Ali Amri, 2022, “Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan (Smkp) Di Perusahaan Pertambangan Guna Meningkatkan Kinerja Keselamatan Operasi Dan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja”, Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, Volume 7 Nomor 4, hlm. 3691.
Comments
Tulis Komentar