Setelah Ijab Kabul, Ke Mana Arah Idealisme Perempuan?
Lima tahun lalu, di tengah kesibukan saya sebagai aktivis muda, saya pernah bertanya kepada senior saya, Yunda Mirnawati Modanggu, "Bagaimana sih kita bisa mengukur idealisme seorang perempuan?" Tanpa ragu, Yunda Mirnawati menjawab bahwa idealisme seorang perempuan itu akan diukur dan akan sempurna pada saat dia menikah, karena pada saat dia menikah idealismenya akan diuji. Saat itu, saya hanya bisa mengerutkan dahi, penasaran, dan bertanya-tanya mengapa jawabannya begitu. Saya pikir, idealisme diukur dari seberapa lantang suara kita di panggung aksi, seberapa masif pergerakan yang kita pimpin, atau seberapa berani kita melawan arus.
Hari ini, setelah saya menjadi seorang istri, saya akhirnya memahami. Pertanyaan yang dulu saya ajukan dan jawaban yang saya terima kini menjadi refleksi paling jujur. Pernikahan bukan tempat idealisme dikubur, melainkan medan ujian yang sesungguhnya. Ia menantang kita untuk membuktikan apakah idealisme yang kita pegang teguh di ruang publik bisa bertahan dan bahkan berkembang di ranah yang lebih pribadi dan intim. Pergumulan batin ini semakin relevan di tahun 2025, ketika dunia penuh dengan isu-isu besar dari politik, hukum, sosial, ekonomi hingga perubahan iklim yang seolah menuntut setiap individu untuk berkontribusi, terutama di zaman tanpa ruang dan batas di mana setiap hal dapat menyentuh relung setiap insan. Namun, di tengah semua tantangan ini, posisi perempuan seringkali berada dalam dilema, antara ingin berpartisipasi di ruang publik dan memenuhi tanggung jawab di ranah domestik.
Back to the Vision of Emancipation: Menyatukan Iman dan Kritis Berpikir
Fondasi idealisme perempuan Indonesia adalah narasi yang kompleks. Ia tidak hanya berakar pada perjuangan historis, seperti semangat emansipasi yang dipelopori R.A. Kartini, yang memandang pendidikan sebagai jalan untuk setara. Namun, visi ini juga berhadapan dengan realitas yang rumit, seperti polemik di seputar keputusan Kartini sendiri untuk menerima poligini, sebuah praktik yang ia kritik keras sebelumnya. Di saat yang sama, idealisme juga dibentuk oleh pandangan religius dan budaya. Ajaran Islam, misalnya, menempatkan perempuan setara dengan laki-laki sebagai "mitra," namun pandangan ini sering berbenturan dengan interpretasi keliru yang membatasi peran perempuan di ranah domestik.
Selain visi historis dan religius, idealisme juga tumbuh dari pergerakan dan dialog perempuan. Organisasi-organisasi seperti Korps HMI-Wati (KOHATI), sejak didirikan pada 1966, telah berperan dalam mencetak perempuan yang berani bersuara dan memimpin, dengan fokus pada pembinaan intelektual dan moral. Ini menunjukkan bahwa idealisme bukan sekadar konsep yang kaku, melainkan sebuah kompas moral yang dinamis. Seperti nasihat dari salah satu dosen strata satu saya di 2017 yang saat ini menjadi Kepala UPT Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang, Ibu Dr. Lusiana Margareth Tijow, S.H., M.H. CPM., CRP., CPCLE, bahwa menjadi perempuan adalah menjadi sosok manusia utuh yang menjalani hidup sesuai tujuan penciptaan, dan segala tindakannya harus mampu dipertanggungjawabkan, baik secara vertikal maupun horizontal. Ia memandu perempuan untuk berintegritas dan bijaksana, terlepas dari tantangan dan di mana mereka berada.
Dilema “Peran Ganda”
Tantangan bagi perempuan modern Indonesia telah bergeser secara fundamental dari perempuan di masa lalu. Saya teringat salah satu buku karya istimewa Julia Quinn, yang menceritakan keluarga bangsawan Bridgerton di Era Regency London (akhir 1700-an hingga awal 1800-an). Di era itu, perkawinan adalah satu-satunya institusi yang menjamin keamanan finansial dan status sosial. Perempuan tidak memiliki hak hukum atas properti dan kendali atas penghasilan setelah menikah, memaksa kecerdasan mereka diarahkan hanya pada manuver sosial dan perjodohan yang strategis. Perjuangan perempuan saat itu adalah perjuangan melawan batasan struktural yang menghapus otonomi atau agensi individu.
Perbedaan inilah yang menjadi kunci: sementara perempuan Bridgerton berjuang melawan batasan hukum yang keras, perempuan modern Indonesia berjuang melawan batasan yang lebih halus—tekanan sosial untuk mengesampingkan otonomi pribadi demi ekspektasi budaya yang tersisa. Dilema “peran ganda” (double burden) adalah realitas tak terhindarkan: tuntutan pekerjaan yang didorong oleh kebutuhan ekonomi atau aktualisasi diri sering berbenturan dengan peran sebagai istri dan ibu.
Secara pribadi, saya bersyukur dapat memiliki pasangan yang tidak hanya mendukung di ranah domestik, tetapi juga di setiap ranah kehidupan. Namun, di awal proses ini, saya pun sempat merasakan pergolakan batin yang mempertanyakan idealisme saya sendiri. Tantangan terbesar yang saya hadapi bukanlah lagi batasan dari luar seperti yang dialami perempuan Bridgerton, melainkan perkelahian dengan diri batin yang memicu perasaan bersalah—seolah waktu yang dicurahkan untuk karir telah mengurangi kemampuan saya dalam memenuhi tanggung jawab domestik. Hal ini memicu pertanyaan yang lebih besar: Bagaimana dengan perempuan-perempuan lain di luaran sana yang tidak mendapatkan dukungan serupa? Bagaimana mereka menata perasaan, logika, dan kerangka pemahaman mereka tentang idealisme setelah menikah? Apakah perjuangan mereka jauh lebih sulit?
Tantangan batin ini sejalan dengan temuan bahwa konflik pekerjaan dan keluarga (Work-Family Conflict) bagi perempuan karier seringkali termanifestasi sebagai perasaan terabaikan yang dialami oleh anggota keluarga , dan menciptakan kebutuhan untuk menyusun strategi koping. Keseimbangan peran ini tidak dapat diwujudkan melalui kekuatan individu semata, melainkan melalui kolaborasi yang dimulai dari rumah. Hal ini mengubah cara kita memandang kesuksesan seorang perempuan. Keberhasilan tidak lagi hanya diukur dari seberapa banyak penghargaan yang didapat di kantor. Keberhasilan adalah hasil dari sebuah kolaborasi. Dan kolaborasi ini dimulai dari rumah, dari sebuah kesadaran bahwa perjuangan seorang perempuan adalah juga perjuangan pasangannya. Ini selaras dengan nasihat dari Ibu Mutia Cherawaty Thalib, S.H., M.Hum, yang pernah berkata bahwa perempuan yang hebat adalah ia yang mampu menurunkan ego di dalam keluarga dan mengikis kesombongan di masyarakat. Sebuah nasihat yang menggarisbawahi pentingnya kerendahan hati dalam menghadapi peran ganda.
Jalan Pulang to the new Greatest Power
Data menunjukkan bahwa kesenjangan upah masih ada di Indonesia, di mana perempuan hanya menerima 78% dari upah laki-laki. Namun, di sinilah keindahan ujian idealisme itu terkuak. Saya kini memahami ucapan Yunda Mirnawati Modanggu: idealismenya akan diuji dan menjadi sempurna ketika menikah. Kesempurnaan itu hadir saat tanggung jawab domestik justru menjadi katalisator bagi perempuan untuk tidak lagi mencari perlindungan dari sistem, melainkan menciptakan karya dan nilai mandiri.
Perempuan yang telah menemukan keutuhan diri setelah menikah sesungguhnya dapat menemukan sumber kekuatan yang jauh lebih besar. Mereka tidak lagi memasuki "kompetisi sosial" , tetapi membangun "skrip hidup sendiri". Ini adalah keyakinan bahwa memiliki kehidupan yang utuh mungkin terasa mustahil, tetapi tidak mustahil untuk memiliki cara untuk mewujudkannya.
Menurut saya untuk mencapai keutuhan idealisme ini, perempuan dituntut melakukan tiga transformasi kunci. Pertama, Mendefinisikan Ulang Kesuksesan. Keutuhan idealisme adalah ketika perempuan mampu menolak identitas tunggal yang hanya berpusat pada hubungan (sebagai istri atau ibu) dan mulai mengembangkan multiple selves sebagai profesional, intelektual, dan pribadi. Kekuatan ini muncul dari kemampuan untuk mempertahankan pilihan hidup yang berbeda dari norma, bahkan di tengah kritik.
Kedua, Menciptakan Nilai Ekonomi Independen. Kecerdasan strategis seorang perempuan modern tidak lagi diarahkan pada manuver sosial (ala ballroom), melainkan pada penciptaan nilai ekonomi yang terukur di ranah publik, baik melalui karier, inovasi, atau wirausaha. Kunci keberhasilan adalah mengalihkan fokus strategi dari reputasi moral menuju kredibilitas profesional yang dibangun dari capaian nyata dan independensi finansial. Ketiga, Ketahanan Melalui Pertanggungjawaban. Kekuatan baru ini didasarkan pada kesadaran penuh bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi, dan tanggung jawab atas pilihan tersebut sepenuhnya ada di tangan diri sendiri, seperti nasihat Ibu Dr. Lusiana. Perempuan yang kuat tidak hanya menunjukkan kelembutan, tetapi juga mampu mempertanggungjawabkan idealisme dan langkah hidupnya, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama.
Pada akhirnya, di sinilah saya menemukan jawaban atas teka-teki Yunda Mirnawati Modanggu lima tahun silam. Idealisme perempuan memang tidak diukur di panggung, tetapi diuji dan mencapai kesempurnaan di persimpangan peran ganda setelah menikah. Ia tidak hilang, melainkan mencapai kesempurnaan karena terpaksa berevolusi: dari perjuangan eksternal menuntut hak menjadi pergulatan internal untuk menciptakan keseimbangan dan menghasilkan karya yang utuh.
Apakah idealisme perempuan hilang setelah menikah? Tentu tidak. Ia hanya bergeser. Dari panggung aksi ke ruang keluarga. Dari tuntutan eksternal ke pergulatan internal. Ia bukan hilang, melainkan berevolusi menjadi sebuah kebijaksanaan yang lebih matang. Ia mengajar kita bahwa kekuatan seorang perempuan tidak hanya diukur dari seberapa keras ia berjuang di luar, tetapi juga seberapa bijaksana ia merawat kehidupannya di dalam, serta seberapa berani ia menciptakan karyanya sendiri. Karena pada akhirnya, idealisme adalah tentang keutuhan, bukan tentang terbelah.
Comments
Tulis Komentar